Menurut imam Al-Qarafi dalam Anwar al-buruq
fi anwa’i al-furuq. Bahwa asal lafadz Khithab at-taklif tidak
digunakan untuk menyebut kecuali atas hal yang haram dan wajib. Sebab lafadz
itu dibentuk dari al-kulfah(beban/kesulitan).|
Sedangkan al-kulfah itu tidak ada dalam keduanya-Wajib dan haram- dikarenakan adanya beban untuk meninggalkan dikarenakan takut sanksi. Adapun selain keduanya -wajib dan haram- maka seorang mukallaf punya kelapangan dikarenakan tidak adanya sanksi sehingga tidak ada kulfah ketika itu. Hanya saja, jama’ah memperluas dalam penggunaan lafal khithab at-taklif terhadap semua bentuk taghlib sebagian atas sebagian yang lain.
Sedangkan al-kulfah itu tidak ada dalam keduanya-Wajib dan haram- dikarenakan adanya beban untuk meninggalkan dikarenakan takut sanksi. Adapun selain keduanya -wajib dan haram- maka seorang mukallaf punya kelapangan dikarenakan tidak adanya sanksi sehingga tidak ada kulfah ketika itu. Hanya saja, jama’ah memperluas dalam penggunaan lafal khithab at-taklif terhadap semua bentuk taghlib sebagian atas sebagian yang lain.
Az-Zakarsyi di dalam Bahru Al Muhith menjelaskan,
“khithab asy-syar’i ada dua jenis
: pertama, khitab taklif dengan
perintah, larangan dan kemubahan. Kaitannya adalah ahkam al-khamsah : wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah. Sebab
lafal at-talkif menunjukan hal itu. Dan penyebutan lafal at-taklif
atas semua itu adalah secara mazaj-perumpamaan- dari sisi menyebutkan semua dan
yang dimaksudkan adalah bagiannya. Sebab at-taklif pada hakikatnya tidak
lain adalah untuk wajib dan haram.
Imam Al-Qarafi menyebutkan, Khithab at-taklif dalam istilah para ulama
adalah ahkam al-khamsah, yakni wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah.
Syeikh Taqiyyuddin An-Nabhani di dalam asy-syakhsiyyah al-islamiyyah juz
II menjelaskan, Khithab at-taklif adalah khithab(seruan) asy-syari’
berkaitan dengan tuntutan atau pilihan. Artinya adalah berkaitan dengan
tuntutan melakukan atau tuntutan meninggalkan atau memilih antara melakukan
atau meninggalkan. Jadi khithab as-taklif itu sederhananya adalah ahkam
al-khamsah yaitu wajib, mandub,
makruh, haram dan mubah.
A. Wajib atau Fardhu
Jika Khithab itu berkaitan dengan tuntutan
melakukan dalam bentuk tuntutan yang tegas (jazim) maka itu adalah wajib dan
sinonimnya fardhu. Wajib adalah apa yang secara syar’iy dicela orang yang
meninggalkannya secara sengaja secara mutlak. Dan makna dicelanya orang
yangmeninggalkannya adlah dinyatakan di dalam kitabullah atau sunnah Rasulullah
atau ijma’ sahabat bahwa dalam kondisi seandainya orang meninggalkannya maka
niscaya ia akan dicela. Tidak ada nilainya celaan manusia untuk ditnggalkannya
perbuatan itu. Akan tetapi yang menjadi patokan adalah elaan dalam syara’.
Hukum wajib itu jika ada nash syar’i dengan redaksi
perintah atau dalam makna perintah. Dari sity kita pahami adanya tuntutan untuk
melakukan suatu perbuatan. Kemudian jika perintah itu diserai qarinah(indikasi)
bahwa tuntuan atau perintah itu bersifat tegas maka itulah hukum wajib.
Wajib ini juga mencakup sesuatu yan suatu kewajiban tidak
sempurna tanpa sesuatu itu maka sesuatu itu humu[knya adalah wajib. Baik
sesuatu itu berupa syarat atau sebab bagi kewajiban itu. Secara syar’i maupun
secara aqliy. Jadi wajibnya sesuatu mengharuskan wajibnya sesuatu yang lain
yang kewajiban itu tidak akan sempurna tanpa sesuatu itu.
B.
Mandub atau Sunnah atau Nafilah
Jika seruan Asy-syari’ berkaitan dengan
tuntutan melakukan itu merupakan tuntutan yang tidak bersifat tegas maka
mandub, dan sinonimnya adalah ibadah adalah sunnah. Mandub adalah pelakunya
dipuji secara syar’i sementara yang meninggalkannya tidak dicela secara syar’i.
Mandub juga disebut nafilah. Hukum mandub diketahui jika ada nash sayr’i yang
bermakna thalab melakukan, lalu ada qarinah yang membari faedah tarjih
yakni pelaksanaanya lebih dikuatkan daripada meninggalkannya, tetapi tidak ada
ketegasan atau kepastian. Maka tuntutan melaksanakan perbuatan yang disertai qarinah
yang tidak bersifat tegas/ pasti itulah yang disebut mandub.
C.
Makruh
jika seruan asy-syari’ berkaitan dengan
tuntutan meninggalkan perbuatan dalam bentuk tuntutan tidak bersifat tegas maka
itu adalah makruh. Makruh didefinisikan, perbuatan dimana orang yang
meninggalkannya dipuji secara syar’iy dan pelakunya tidak dicela secara syar’iy.
Hal itu jika ada nash syara’ yang melarang
atau bermakna larangan. Lalu ada qarinah yang menunjukkan larangan itu
tidak bersifat tegas. Misalnya nash syara’ melarang sesuatu, ada dorongan untuk
meninggalkannya dan orang yang meninggalkannya dipuji, tetapi orang yang
melakukannya tidak dicela dan didiamkan saja.
D.
Haram atau Mahzur
Jika serun syari’ berkaitan denga tuntutan
meninggalkan perbuatan dalam bentuk tuntutan yang bersifat tegas maka itu
adalah haram. Dan sinonimnya adalah al-mazhur. Haram adalah
pelakunya dicela syar’i. Hal itu jika ada nash syara’ yang menuntut meninggalkan
perbuatan baik denga redaksi laranga atau redaksi lain yang bisa dimaknai
larangan. Kemudian ada qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan
meningalkan itu bersifat tegas (jazim)
E.
Mubah
Mubah adalah apa yang ditunjukkan oleh dali
syara’ bahwa seruan asy-syari’ itu berkaitan denga pilihan antara
melakukan atau meinggalkan, tanpa ada pengganti. Mubah adalah bagian dari hukum
syara’ sebab merupakan seruan asy-syari’. Karenanya untuk menyatakan
mubah harus ada seruan asy-syari’ tentangnya yang memberi pilihan atau
bermakna pilihan.
Seraun berupa pilihan itu ada kalanya
dinyatakan dalam bentuk pilihan secara jelas dan terang. Ada kalanya dalam
bentuk yang bisa dipahami adanya pilihan dari redaksi thalab (tuntutan).
Misalnya datang seruan thalab setelah larangan dalam hukum yang sama
pada dua kondisi yang berbeda. Maka itu untuk mubah meskipun dinyatakan dalam
bentuk perintah. Misalnya perintah bertebaran di muka bumi setelah selesai
sholat jum’at. Perintah ini bermakna pilihan sebab dinyatakan setelah hal itu
dilarang (haram) ketika terdengar adzan jum’at.
Wallah a’lam
wa ahkam

0 komentar:
Posting Komentar