KHITAB AT-TAKLIF

by 19.14 0 komentar
Menurut imam Al-Qarafi dalam Anwar al-buruq fi anwa’i al-furuq. Bahwa asal lafadz Khithab at-taklif tidak digunakan untuk menyebut kecuali atas hal yang haram dan wajib. Sebab lafadz itu dibentuk dari al-kulfah(beban/kesulitan).|
Sedangkan  al-kulfah itu tidak ada dalam keduanya-Wajib dan haram- dikarenakan adanya  beban untuk meninggalkan dikarenakan takut sanksi. Adapun selain keduanya -wajib dan haram- maka seorang mukallaf punya kelapangan dikarenakan tidak adanya sanksi sehingga tidak ada kulfah ketika itu. Hanya saja, jama’ah memperluas dalam penggunaan lafal khithab at-taklif terhadap semua bentuk taghlib sebagian atas sebagian yang lain.
Az-Zakarsyi di dalam Bahru Al Muhith menjelaskan, “khithab asy-syar’i  ada dua jenis : pertama, khitab taklif  dengan perintah, larangan dan kemubahan. Kaitannya adalah ahkam al-khamsah  : wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah. Sebab lafal at-talkif menunjukan hal itu. Dan penyebutan lafal at-taklif atas semua itu adalah secara mazaj-perumpamaan- dari sisi menyebutkan semua dan yang dimaksudkan adalah bagiannya. Sebab at-taklif pada hakikatnya tidak lain adalah untuk wajib dan haram.
Imam Al-Qarafi menyebutkan,  Khithab at-taklif dalam istilah para ulama adalah ahkam al-khamsah, yakni wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah. Syeikh Taqiyyuddin An-Nabhani di dalam asy-syakhsiyyah al-islamiyyah juz II menjelaskan, Khithab at-taklif adalah khithab(seruan) asy-syari’ berkaitan dengan tuntutan atau pilihan. Artinya adalah berkaitan dengan tuntutan melakukan atau tuntutan meninggalkan atau memilih antara melakukan atau meninggalkan. Jadi khithab as-taklif itu sederhananya adalah ahkam al-khamsah  yaitu wajib, mandub, makruh, haram dan mubah.
A.     Wajib atau Fardhu

Jika Khithab itu berkaitan dengan tuntutan melakukan dalam bentuk tuntutan yang tegas (jazim) maka itu adalah wajib dan sinonimnya fardhu. Wajib adalah apa yang secara syar’iy dicela orang yang meninggalkannya secara sengaja secara mutlak. Dan makna dicelanya orang yangmeninggalkannya adlah dinyatakan di dalam kitabullah atau sunnah Rasulullah atau ijma’ sahabat bahwa dalam kondisi seandainya orang meninggalkannya maka niscaya ia akan dicela. Tidak ada nilainya celaan manusia untuk ditnggalkannya perbuatan itu. Akan tetapi yang menjadi patokan adalah elaan dalam syara’.

Hukum wajib itu jika ada nash syar’i dengan redaksi perintah atau dalam makna perintah. Dari sity kita pahami adanya tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan. Kemudian jika perintah itu diserai qarinah(indikasi) bahwa tuntuan atau perintah itu bersifat tegas maka itulah hukum wajib.
Wajib ini juga mencakup sesuatu yan suatu kewajiban tidak sempurna tanpa sesuatu itu maka sesuatu itu humu[knya adalah wajib. Baik sesuatu itu berupa syarat atau sebab bagi kewajiban itu. Secara syar’i maupun secara aqliy. Jadi wajibnya sesuatu mengharuskan wajibnya sesuatu yang lain yang kewajiban itu tidak akan sempurna tanpa sesuatu itu.

B.     Mandub atau Sunnah atau Nafilah

Jika seruan Asy-syari’ berkaitan dengan tuntutan melakukan itu merupakan tuntutan yang tidak bersifat tegas maka mandub, dan sinonimnya adalah ibadah adalah sunnah. Mandub adalah pelakunya dipuji secara syar’i sementara yang meninggalkannya tidak dicela secara syar’i. Mandub juga disebut nafilah. Hukum mandub diketahui jika ada nash sayr’i yang bermakna thalab melakukan, lalu ada qarinah yang membari faedah tarjih yakni pelaksanaanya lebih dikuatkan daripada meninggalkannya, tetapi tidak ada ketegasan atau kepastian. Maka tuntutan melaksanakan perbuatan yang disertai qarinah yang tidak bersifat tegas/ pasti itulah yang disebut mandub.

C.     Makruh

jika seruan asy-syari’ berkaitan dengan tuntutan meninggalkan perbuatan dalam bentuk tuntutan tidak bersifat tegas maka itu adalah makruh. Makruh didefinisikan, perbuatan dimana orang yang meninggalkannya dipuji secara syar’iy dan pelakunya tidak dicela secara syar’iy.
Hal itu jika ada nash syara’ yang melarang atau bermakna larangan. Lalu ada qarinah yang menunjukkan larangan itu tidak bersifat tegas. Misalnya nash syara’ melarang sesuatu, ada dorongan untuk meninggalkannya dan orang yang meninggalkannya dipuji, tetapi orang yang melakukannya tidak dicela dan didiamkan saja.


D.     Haram atau Mahzur

Jika serun syari’ berkaitan denga tuntutan meninggalkan perbuatan dalam bentuk tuntutan yang bersifat tegas maka itu adalah haram. Dan sinonimnya adalah al-mazhur. Haram adalah pelakunya dicela syar’i. Hal itu jika ada nash syara’ yang menuntut meninggalkan perbuatan baik denga redaksi laranga atau redaksi lain yang bisa dimaknai larangan. Kemudian ada qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan meningalkan itu bersifat tegas (jazim)

E.     Mubah

Mubah adalah apa yang ditunjukkan oleh dali syara’ bahwa seruan asy-syari’ itu berkaitan denga pilihan antara melakukan atau meinggalkan, tanpa ada pengganti. Mubah adalah bagian dari hukum syara’ sebab merupakan seruan asy-syari’. Karenanya untuk menyatakan mubah harus ada seruan asy-syari’ tentangnya yang memberi pilihan atau bermakna pilihan.
Seraun berupa pilihan itu ada kalanya dinyatakan dalam bentuk pilihan secara jelas dan terang. Ada kalanya dalam bentuk yang bisa dipahami adanya pilihan dari redaksi thalab (tuntutan). Misalnya datang seruan thalab setelah larangan dalam hukum yang sama pada dua kondisi yang berbeda. Maka itu untuk mubah meskipun dinyatakan dalam bentuk perintah. Misalnya perintah bertebaran di muka bumi setelah selesai sholat jum’at. Perintah ini bermakna pilihan sebab dinyatakan setelah hal itu dilarang (haram) ketika terdengar adzan jum’at.
 Wallah a’lam wa ahkam





Imam Alwafiy

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar