by
23.20
0
komentar
haram memimpin
kepala negara wanita
larangan
une femme ne peut pas conduire
wanita
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُم
امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan urusan
kekuasaan mereka kepada wanita (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasai dan
Ahmad).
Hadis ini diriwayatkan dari jalur Abu Bakrah. Dalam salah
satu riwayat al-Bukhari, Abu Bakrah berkata, “Sungguh Allah memberi manfaat
kepadaku dengan kalimat pada Hari al-Jamal, ketika sampai kepada Nabi saw.
bahwa orang Persia menobatkan putri Kisra sebagai raja, beliau bersabda, “…
(sebagaimana matan hadis di atas).”
Dalam riwayat at-Tirmidzi dan an-Nasai, Abu Bakrah berkata,
“Allah telah melindungi aku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw.
ketika Kisra mati. Beliau bertanya, “Man istakhlafû (Siapa yang mereka nobatkan
jadi pengganti)?” Mereka (para Sahabat) berkata, “Putrinya.” Lalu Nabi saw. pun
dengan redaksi hadis di atas.
Ibn Qutaibah di dalam Al-Maghazi menyebutkan, putri Kisra
itu adalah Buran binti Sirawaih bin Kisra bin Birwiz. Ketika Sirawaih mati, ia
tidak meninggalkan anak laki-laki dan saudara laki-laki, maka putrinya pun
diangkat jadi raja. Ath-Thabari menyebutkan bahwa saudara perempuan Buran,
yakni Arzimida Khut juga diangkat jadi raja.
Hadis ini juga diriwayatkan dengan redaksi yang lain.
يُفْلِحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوا أَمْرَهُمْ
إِلَى امْرَأَة لَنْ
Tidak akan beruntung kaum yang menyandarkan urusan
mereka kepada perempuan (HR Ahmad).
Diriwayatkan pula dengan redaksi:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ تَمْلِكُهُمُ امْرَأَةٌ
Tidak akan beruntung kaum yang dipimpin oleh seorang
ratu (HR Ahmad, Ibn Hibban dan al-Hakim).
Al-Hakim berkomentar, “(Hadis ini sahih) menurut syarat
syaikhayn (al-Bukhari dan Muslim) tetapi keduanya tidak mengeluarkan hadis
tersebut.”
Dalam At-Talkhis, adz-Dzahabi juga berkomentar, “(Hadis ini
sahih) menurut syarat al-Bukhari dan Muslim.”
Meskipun dinyatakan dengan redaksi berita, hadis ini
bermakna larangan karena berita itu disertai celaan, yaitu dengan ungkapan “lan
yufliha”. Dalam ketentuan ushul, jika berita disertai celaan, maknanya adalah
larangan; dan jika disertai pujian, maknanya adalah perintah.
Perkara yang dilarang itu adalah “wallaw amrahum imra’at[an]
(mereka menyerahkan urusan kekuasaan mereka kepada wanita), yakni menjadikan
perempuan sebagai waliyyu al-amri (jamaknya ûlu al-amri); atau memberikan
wilâyah (kekuasaan pemerintahan) kepada wanita.
Kata waliyyu al-amri atau ûlu al-amri maknanya adalah
penguasa. Jadi hadis ini menunjukkan larangan menyerahkan kekuasaan kepada
wanita atau menjadikan wanita sebagai penguasa. Pengertian ini dikuatkan oleh
frasa tamlikuhum imra’at[un] (mereka dipimpin oleh ratu/penguasa wanita) dalam
riwayat Ahmad, Ibn Hibban dan al-Hakim di atas.
Dalam frasa amrahum, kata amru (urusan) di sini bersifat
umum. Meski bersifat umum, kata itu tidak boleh dipahami secara umum mencakup
semua urusan. Pasalnya, sesuai ketentuan ushul, kata umum itu jika datang
sebagai komentar atau jawaban atas suatu pertanyaan atau situasi. Karena itu
kata itu bersifat umum pada jenis masalah atau situasi itu saja, tidak berlaku
umum untuk semua perkara. Jenis masalah yang dikomentari hadis ini adalah
penyerahan urusan kekuasaan kepada wanita. Dengan demikian larangan hadis ini
tidak berlaku umum untuk semua urusan, melainkan berlaku umum untuk urusan
kekuasaan. Larangannya bersifat umum untuk penyerahan urusan kekuasaan kepada wanita
atau menjadikan wanita sebagai penguasa, pada tingkat manapun, dan dengan
sebutan apapun penguasa itu. Larangan hadis ini tidak berlaku dalam hal
penyerahan selain urusan kekuasaan kepada wanita.
Jadi hadis melarang untuk menyerahkan urusan kekuasaan
kepada wanita atau menjadikan wanita sebagai penguasa (waliyyu al-amri). Mula
Ali al-Qari dalam Mirqâh al-Mafâtîh Syarh Misykâtu al-Mashâbîh menjelaskan,
“Wallaw ay fawadhû amrahum ay amra mulkihim imra’at[an]
(mendelegasikan/menyerahkan amrahum, yakni amra mulkihim [urusan kekuasaan
mereka] kepada wanita).
Larangan dalam hadis ini juga bersifat tegas. Hal itu
ditunjukkan oleh qarinah berupa kata “lan yufliha (tidak akan pernah
beruntung)”. Frasa ini menafikan keberuntungan untuk selamanya. Dengan demikian
larangan dalam hadis ini mengandung hukum haram. Jadi hadis ini menyatakan
keharaman menyerahkan kekuasaan kepada wanita atau haram menjadikan wanita
sebagai penguasa.
Adapun dalam selain urusan kekuasaan atau selain sebagai
penguasa, wanita boleh diserahi kepemimpina karena tidak masuk dalam larangan
hadis ini.
Keharaman yang dijelaskan dalam hal ini juga berlaku bagi
semua orang, bukan hanya terkait orang Persia saja. Sebab, kata qawm[un] (kaum)
dalam hadis di atas berbentuk nakirah dan itu merupakan redaksi umum. Ketentuan
ini tetap berlaku secara umum, yaitu berlaku untuk kaum manapun, karena tidak
ada nas yang mengkhususkan keumumannya.
Hadis ini juga tidak mengandung illat tertentu. Dengan
demikian keharaman menyerahkan urusan kekuasaan kepada wanita atau menjadikan
wanita sebagai penguasa itu tidak ada ‘illat-nya. Sebagian orang menyebutkan
alasan larangan itu. Misalnya karena wanita itu nâqishah ‘aqlin (kurang
akalnya); wanita itu aurat tidak boleh bergaul dengan laki-laki; dan jabatan
atau posisi tertentu mengharuskan wanita bertemu, berinteraksi atau saling
berargumentasi dengan laki-laki; dan alas an lainnya. Semua itu, meski
disebutkan oleh nas atau dipahami dari nas, itu adalah nas lain, dan bukan
merupakan ‘illat hukum dalam hadis ini atau sebab adanya hukum hadis ini.
Karena itu larangan dan keharaman menyerahkan urusan
kekuasaan kepada wanita atau menjadikan wanita sebagai penguasa adalah tanpa
disertai ‘illat. Dengan demikian, menyerahkan urusan kekuasaan kepada wanita
atau menjadikan wanita sebagai penguasa hukumnya tetap haram; kapanpun, di
manapun dan dalam kondisi apapun. Kaum mana saja yang melakukan itu berarti
menafikan keberuntungan dari mereka.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

0 komentar:
Posting Komentar