by
17.36
0
komentar
aqilah
diyat
islam
Mahalnya Nyawa Seorang Muslim di Sisi Allah SWT
muslim
pembunuhan
qishosh
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ
مُسْلِمٍ
“Dari Abdullah bin Amru, dari Nabi saw., beliau bersabda,
“Sungguh, lenyapnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada pembunuhan
seorang Muslim.” (HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Hadis semakna diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Buraidah,
dari bapaknya (Buraidah ra.), yang berkata bahwa Rasulullah saw. pernah
bersabda:
قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا
“Pembunuhan seorang Muslim lebih agung di sisi Allah
daripada lenyapnya dunia ini (HR an-Nasa’i).
Hadis lainnya diriwayatkan dari jalur Bara’ bin ‘Azib ra.,
bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ
حَقٍّ
“Sungguh, lenyapnya dunia lebih ringan bagi Allah
daripada pembunuhan atas seorang Mukmin tanpa haq (HR Ibnu Majah dan
al-Baihaqi).
As-Sindi di dalam Hasyiyah as-Sindi ‘ala Ibni Mâjah
menjelaskan, bahwa ucapan tersebut ditujukan untuk menyatakan besar dan
seriusnya masalah pembunuhan; untuk menyatakan kengeriannya dan bagaimana
memberikan impresi (penekanan) lafal. Hal itu karena dunia itu merupakan
perkara yang besar di dalam jiwa makhluk. Lenyapnya dunia bagi makhluk (menjadi
perkara yang besar) sesuai dengan kadar besarnya dunia itu. Karena itu jika
dikatakan lenyapnya dunia lebih ringan dari pembunuhan seorang Muslim, hal itu
memberi pengertian betapa besar dan seriusnya pembunuhan seorang Muslim itu;
betapa mengerikan, betapa tercela dan betapa buruknya pembunuhan seorang
Muslim, yang tidak cukup untuk dideskripsikan.
Betapa berharganya nyawa seorang Muslim itu juga dinyatakan
di dalam riwayat dari Abdullah bin Umar ra. Ia menuturkan: Aku melihat
Rasulullah saw. tawaf mengelilingi Ka’bah dan bersabda:
مَا أَطْيَبَكِ وَأَطْيَبَ رِيحَكِ مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ
وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَحُرْمَةُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ
حُرْمَةً مِنْكِ مَالِهِ وَدَمِهِ وَأَنْ نَظُنَّ بِهِ إِلاَّ خَيْرًا
“Alangkah baiknya engkau dan alangkah harumnya aromamu.
Alangkah agungnya engkau dan agungnya kehormatanmu. Demi Zat Yang jiwa Muhammad
ada di genggaman tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang Mukmin lebih agung di
sisi Allah dari kamubaik menytangkut harta maupun darahnya, dan agar kami hanya
berprasangka baik kepada dirinya (HR Ibnu Majah).
Ka’bah merupakan simbol Islam terbesar yang ada saat ini.
Seluruh kaum Muslim diwajibkan menghadap ke arah Ka’bah dalam setiap shalatnya.
Shalat di Ka’bah dilipatgandakan pahalanya paling tinggi dari semua tempat yang
ada di muka bumi; lebih tinggi daripada shalat di Masjid Nabawi dan Masjid
al-Aqsha, apalagi masjid-masjid lainnya. Hajar Aswad yang menempel di dinding
Ka’bah adalah satu-satunya batu yang disunahhkan untuk kita cium. Meski
sedemikian agungnya kedudukan dan kehormatan Ka’bah, kehormatan seorang Mukmin
berikut kehormatan darahnya dan hartanya lebih agung di sisi Allah daripada
Ka’bah. Karena kehormatannya itu, kita tidak boleh berprasangka kepada seorang
Muslim kecuali prasangka yang baik.
Hadis di atas sekaligus menyatakan bahwa membunuh seorang
Muslim merupakan kejahatan dan dosa besar. Hanya saja itu tidak mencakup semua
pembunuhan seorang Muslim.
Hadis di atas dinyatakan dalam dua bentuk, muthlaq dan
muqayyad. Hadis Abdullah bin Buraidah dari bapaknya dan hadis Abdullah bin Amru
dinyatakan secara mutlak sehingga maknanya mencakup semua pembunuhan seorang
Muslim. Namun, hadis al-Bara’ bin ‘Azib dinyatakan dalam bentuk muqayyad, yaitu
dibatasi dengan lafal bighayri haqq[in] (tanpa haq). Jika ada dua nas yang satu
muthlaq dan yang lain muqayyad, maka pemahaman nas yang muthlaq harus dibawa ke
yang muqayyad dan diamalkan sesuai yang muqayyad. Dengan demikian, pembunuhan
atas seorang Muslim yang menjadi kejahatan dan dosa besar itu adalah pembunuhan
yang bighayri haqqin (tanpa alasan yang dibenarkan). Adapun pembunuhan yang
dibenarkan secara syar’i, misalnya, pembunuhan terhadap orang murtad yang tidak
mau bertobat dan kembali pada Islam, pembunuhan terhadap orang yang dijatuhi
sanksi syar’i dengan dibunuh—seperti pelaku homoseksual, pelaku pembunuhan yang
disengaja yang tidak dimaafkan oleh ahli waris korban, orang yang bersetubuh
dengan binatang, dan kejahatan lainnya yang sanksinya adalah hukuman
dibunuh—maka pembunuhan terhadap pelaku kejahatan itu tidak termasuk dalam
cakupan makna hadis di atas.
Islam tidak berhenti hanya dengan menyatakan betapa
berharganya nyawa seorang Muslim itu. Islam memberikan serangkaian hukum yang
merealisasi penjagaan atas nyawa layaknya sesuatu yang sangat berharga.
Penjagaan atas nyawa itu hanya bisa terealisasi dengan kekuasaan eksekutif yang
melaksanakan serangkaian hukum Islam. Karena itu Islam mewajibkan kaum Muslim
untuk membaiat seorang imam, yakni khalifah, yang disifati oleh syariah laksana
perisai yang akan menjadi pelindung. Khalifahlah yang menerapkan hukum Islam
yang menjamin perlindungan nyawa manusia. Di antaranya, hukuman qishâsh bagi
pelaku pembunuhan disengaja jika tidak dimaafkan oleh ahli waris korban. Jika
dimaafkan maka ia wajib membayar diyat 100 ekor unta, 40 ekor di antaranya
bunting. Pelaku pembunuhan selain yang disengaja tidak dijatuhi sanksi qishâsh,
melainkan wajib membayar diyat. Diyat pembunuhan mirip disengaja sama dengan
diyat pembunuhan disengaja yaitu 100 ekor unta, 40 ekor di antaranya bunting.
Diyat pembunuhan karena salah adalah 100 ekor unta atau 1.000 dinar (4,25 kg
emas murni 24 karat). Adapun pembunuhan yang diposisikan seperti pembunuhan
karena salah, diyat-nya 100 ekor unta atau 1.000 dinar (4,25 kg emas murni 24
karat). Hanya saja, yang wajib membayar adalah ‘aqilah si pelaku. Padahal
pembunuhan yang terakhir ini terjadi tanpa niat si pelaku bahkan tanpa sadar.
Namun, di dalamnya tetap ada diyat. Semua ini menunjukkan betapa berharganya
nyawa manusia, nyawa seorang Muslim.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

0 komentar:
Posting Komentar