مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ
وَهُوَ غَاشٍّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidaklah mati seorang hamba yang Allah minta untuk
mengurus rakyat, sementara dia dalam keadaan menipu (mengkhianati) rakyatnya,
kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis ini, Rasul saw. mengungkapkan dengan redaksi
penafian (kata mâ) yang dilanjutkan dengan pengecualian (kata illâ) untuk
menetapkan. Ini memberi pengertian, tidak ada seorang pun yang memenuhi
deskripsi hadis ini kecuali pasti menghadapi akibat yang dijelaskan dalam hadis
ini.
Makna yastar’îhilLâhu ra’iyyat[an] maksudnya, Allah
mendelegasikan pengaturan urusan rakyat kepada dia, dengan menobatkan dia untuk
mengurus berbagai kemaslahatan rakyat dan mengendalikan urusan mereka. Ar-Râ’iy
adalah penjaga yang diberi amanah atas pengaturan urusan rakyat.
Kata ghâsysy[in] maknanya khâ‘in (khianat) atau khâdi’
(penipu). Artinya, dia mengelabui rakyat atau mengkhianati amanah yang
dipercayakan kepada dirinya untuk mengurus urusan rakyat, memelihara berbagai
kemaslahatan rakyat dan semua kewajiban dan tanggung jawab ri’ayah.
Frasa yawma yamûtu wa huwa ghâsysy[in] bermakna: saat ajal
menghampiri dia dan tobat sudah tidak lagi bisa diterima, sementara pada waktu
itu dia seorang ghâsysy[in].
Adapun sabda Rasul saw, illâ harramallâh ‘alayhi al-jannata,
maksudnya dijelaskan dalam riwayat lain: lam yadkhul ma’ahum al-jannata (tidak
masuk surga bersama mereka). Artinya, dia tidak masuk surga bersama rakyatnya
yang masuk surga, sebab dia harus mendapat hukuman karena mengkhianati amanah
ri’ayah itu. Jadi, maknanya bukan dia kekal di neraka.
Jadi, hadis ini seperti dijelaskan oleh Ibn Bathal di dalam
Syarh Ibn Bathal, merupakan penjelasan dan ancaman keras terhadap para pemimpin
keji (a’immah al-jûr). Jadi, siapa yang menelantarkan orang-orang yang urusan
mereka Allah percayakan kepada dia atau dia mengkhianati mereka atau menzalimi
mereka, maka kepada dia diarahkan tuntutan atas kezaliman-kezaliman terhadap
hamba pada Hari Kiamat kelak.
Qadhi ‘Iyadh mengatakan seperti dikutip oleh an-Nawawi di
dalam Syarh Shahîh Muslim li an-Nawawi, “Maknanya jelas dalam hal peringatan
dari menipu (mengkhianati) kaum Muslim , peringatan untuk orang yang kepada dia
didelegasikan sesuatu dari urusan mereka, dia diminta mengurusi mereka dan dia
diangkat untuk mengurusi kemaslahatan mereka dalam hal agama dan dunia mereka.
Jika dia berkhianat dalam apa yang dipercayakan (diamanahkan) kepada dia dan
dia tidak menasihati dalam apa yang didelegasikan kepada dia yang kadang itu
dengan tidak memberitahu mereka apa yang harus mereka pegang teguh dan mereka
ambil dari agama mereka, dan kadang dengan tidak melakukan apa yang telah
ditentukan untuknya berupa menjaga syariah mereka dan membela/mempertahankan
syariah dari setiap penentang yang akan memasukkan sesuatu di dalamnya atau
memalingkan makna-maknanya, atau mengabaikan hudud mereka, atau menelantarkan
hak-hak mereka atau tidak melindungi/menjaga apa yang mereka peroleh dan tidak
menghadapi musuh-musuh mereka, atau meninggalkan langkah keadilan di tengah
mereka, maka sungguh dia telah menipu mereka.”
Qadhi ‘Iyadh mengatakan, “Sungguh Allah SWT telah
memperingatkan bahwa hal demikian termasuk dosa besar yang berakibat menjauhkan
dari surga. WalLah a’lam.”
Al-Amir ash-Shan’ani di dalam Subul as-Salâm menjelaskan,
“Sabda Rasul saw., ‘yawma yamûtu (hari ketika dia mati),’ maksudnya bahwa dia
dihampiri kematian dalam keadaan menipu rakyatnya tanpa bertobat dari hal itu.
Al-Ghisyyu adalah lawan dari an-nushhu (nasihat). Ghissyu itu terjadi dengan
kezaliman dia terhadap rakyat dengan mengambil harta mereka, menumpahkan darah
mereka, melanggar kehormatan mereka, menghalangi diri dari keperluan dan
kebutuhan mereka, menahan dari mereka harta Allah SWT yang Allah tetapkan
menjadi milik mereka yang ditentukan untuk pengeluaran-pengeluaran, tidak
memberitahu mereka apa yang wajib atas mereka baik perkara agama dan dunia
mereka, mengabaikan hudud, tidak menghalangi orang-orang yang membuat
kerusakan, menelantarkan jihad dan lainnya yang di dalamnya terdapat
kemaslahatan hamba. Termasuk dalam hal itu adalah mengangkat orang yang tidak
melingkupi mereka dan tidak memperhatikan perintah Allah tentang mereka dan
mengangkat orang yang mana Allah lebih meridhai orang lainnya. Padahal orang
lain yang lebih diridhai oleh Allah itu ada. Banayak hadis menunjukkan
keharaman al-ghisyyu (penipuan/khianat) dan bahwa itu termasuk dosa besar
karena adanya ancaman terhadap al-ghisyyu itu sendiri.”
Rasul saw. bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلاً عَلَى عَصَابَةٍ وَفِيْهِمْ مَنْ هُوَ أَرْضَي
اللهُ عَنْهُ فَقَدْ خَانَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَالْمُؤْمِنِيْنَ
”Siapa saja yang mengangkat seorang laki-laki terhadap
suatu kelompok, sementara di tengah mereka ada orang yang lebih diridhai Allah
dari laki-laki itu maka sungguh dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan
kaum Mukmin.” (HR Ahmad dan al-Hakim. Al-Hakim berkata, “Ini hadis shahîhul
isnâd tetapi beliau berdua [al-Bukhari dan Muslim] tidak mengeluarkan hadis
tersebut.”).
Di antara bentuk spesifik al-ghisysyu terhadap rakyat itu
adalah mempercayakan urusan rakyat kepada orang yang tidak amanah, tidak layak
atau yang lemah untuk mengemban amanah ri’ayah. Biasanya hal itu dilakukan
karena kedekatan, kecintaan, kekerabatan dan semacamnya, atau yang disebut
nepotisme. Adapun jika orang itu memang orang terbaik, amanah dan layak
mengemban tanggung jawab ri’ayah, maka tidak termasuk al-ghisysyu. Rasul saw.
memperingatkan hal itu:
مَنْ وَلِيَّ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ شَيْئًا فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ
حَدًا مُحَابَاةً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلاَ
عَدْلاً حَتىَّ يُدْخِلَهُ جَهَنَّمَ …
“Siapa saja yang mengurusi urusan kaum Muslim, lalu ia
menjadikan seorang yang dia cintai sebagai pemimpin mereka, maka bagi dia
laknat Allah. Allah tidak menerima dari dia tobat dan tebusan sampai Allah
masukkan dia ke dalam Jahanam (HR Ahmad, al-Hakim. Al-Hakim berkata, “Ini hadis
shahîhul isnâd tetapi beliau berdua [al-Bukhari dan Muslim] tidak mengeluarkan
hadis tersebut.”).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

0 komentar:
Posting Komentar