Mengetahui hukum syar'i yang dibutuhkan oleh muslim
dalam kehidupannya adalah fardhu 'ain atas setiap muslim.
| Karena, dia diperintahkan untuk mengerjakan amal-amalnya sesuai dengan hukum-hukum syara'. Khithab taklif (pembebanan) yang dengannya Syari' (Peletak syari'at) berbicara kepada manusia, dan berbicara kepada kaum mukminin, adalah khithab yang tegas, tidak ada pilihan di dalamnya bagi seorang pun. Firman Allah Ta'ala: "Berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya" (Q.S. An-Nisa': 136), sama dengan firman-Nya: "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (Q.S. Al-Baqarah: 275). Keduanya adalah khithab taklif. Dan dari segi keberadaannya sebagai khithab -bukan dari segi tema yang dengannya Allah berbicara kepada kita- keduanya adalah khithab yang tegas, dengan dalil firman Allah Ta'ala: "Tidaklah patut bagi mukmin dan mukminah, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, untuk memilih sesuatu dari diri mereka sendiri." (Q.S. Al-Ahzab: 36).
| Karena, dia diperintahkan untuk mengerjakan amal-amalnya sesuai dengan hukum-hukum syara'. Khithab taklif (pembebanan) yang dengannya Syari' (Peletak syari'at) berbicara kepada manusia, dan berbicara kepada kaum mukminin, adalah khithab yang tegas, tidak ada pilihan di dalamnya bagi seorang pun. Firman Allah Ta'ala: "Berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya" (Q.S. An-Nisa': 136), sama dengan firman-Nya: "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (Q.S. Al-Baqarah: 275). Keduanya adalah khithab taklif. Dan dari segi keberadaannya sebagai khithab -bukan dari segi tema yang dengannya Allah berbicara kepada kita- keduanya adalah khithab yang tegas, dengan dalil firman Allah Ta'ala: "Tidaklah patut bagi mukmin dan mukminah, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, untuk memilih sesuatu dari diri mereka sendiri." (Q.S. Al-Ahzab: 36).
Juga, dengan dalil bahwa semua amal akan dihisab. Allah
Ta'ala berfirman: "Barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah,
niscaya dia akan mendapatkan (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan
kejahatan sebesar dzarrah, niscaya dia akan mendapatkan (balasan)nya."
(Q.S. Az-Zalzalah: 7-8).
Dia juga berfirman: "Pada hari ketika setiap
diri mendapatkan kebaikan yang telah dikerjakannya dihadirkan (di hadapannya),
begitu pula kejahatan yang telah dikerjakannya. Dia ingin sekiranya antara dia
dan hari itu ada masa yang jauh. Dan Allah memperingatkan kalian terhadap diri
(siksa)-Nya." (Q.S. Ali Imran: 30).
Dan Dia juga berfirman: "Dan setiap diri diberi
(balasan) apa yang telah dikerjakannya." (Q.S. An-Nahl: 111).
Dengan demikian, taklif datang dengan bentuk yang tegas.
Dan dengan bentuk yang tegas pula seorang muslim dibebani untuk berpegang pada
hukum syara' saat mengerjakan semua amalnya.
Obyek taklif -yaitu sesuatu yang dengannya Allah memberi
beban kepada kita, baik untuk mengerjakan, meninggalkan, atau memilih- kadang
fardhu, kadang mandub (dianjurkan), kadang mubah, kadang haram, dan kadang
makruh. Sedangkan taklif itu sendiri adalah sesuatu yang tegas, tidak ada
pilihan di dalamnya. Dia hanya memiliki satu kondisi, yaitu kewajiban untuk
berpegang dengannya. Dari sini, wajib atas setiap muslim untuk mengetahui
hukum-hukum syar'i yang dibutuhkannya dalam kehidupan dunia. Sedangkan
mengetahui tambahan atas hukum-hukum syar'i yang dibutuhkannya dalam
kehidupannya, maka itu adalah fardhu kifayah, bukan fardhu 'ain. Jika sebagian
telah melakukannya, maka itu tanggal dari yang lain.
Ini diperkuat oleh riwayat dari Anas bin Malik, dia
berkata: Rasulullah saw. Bersabda: "Menuntut ilmu wajib atas setiap
muslim." Meskipun yang dimaksud di sini adalah semua ilmu yang
dbutuhkan oleh muslim dalam kehidupannya, tapi masuk di dalamnya fikih dari
sisi hukum-hukum yang dibutuhkan oleh muslim dalam kehidupannya, berupa ibadah,
muamalah dan lainnya. Dari sini, mempelajari fikih termasuk perkara-perkara
yang dibutuhkan oleh kaum muslimin, bahkan termasuk di antara hukum-hukum yang
diwajibkan Allah atas mereka, baik fardhu 'ain maupun fardhu kifayah. Dan
hadits-hadits yang mulia banyak memberi motifasi untuk mengkaji fikih. Rasul
saw. mendorong kita untuk mempelajari fikih.
Bukhari meriwayatkan melalui Muawiyah bin Abu Sufyan,
dia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: "Barangsiapa Allah menghendaki
kebaikan padanya, niscaya Dia akan menjadikannya fakih dalam agama."
(Diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
Dan diriwayatkan dari Hazzam bin Hakim dari pamannya
dari Rasulullah saw., beliau bersabda: "Kalian berada di zaman yang
banyak fakihnya dan sedikit khatibnya, banyak pemberinya dan sedikit
pemintanya, dan amal di dalamnya lebih baik dari ilmu. Dan akan datang zaman
yang sedikit fakihnya dan banyak khatibnya, banyak pemintanya dan sendiri
pemberinya, dan ilmu di dalamnya lebih baik dari amal."
Hadits-hadits ini dengan jelas menunjukkan keutamaan
fikih dan dorongan untuk mempelajarinya. Telah diriwayatkan dari Umar bin
Khattab ra., bahwa dia berkata: "Sungguh, kematian seribu ahli ibadah yang
bangun pada malam hari dan berpuasa pada siang hari, lebih ringan dari kematian
seorang berilmu yang mengetahui apa yang dihalalkan Allah dan apa yang
diharamkan-Nya."
Beberapa
Contoh Fikih
Para sahabat ra. adalah orang-orang Arab. Bahasa Arab
adalah tabiat mereka. Mereka adalah ulama yang menguasai bahasa Arab secara
detail. Dan mereka selalu menyertai Rasulullah saw. Al-Qur'an turun saat mereka
bersama Rasul. Dan hadits-hadits yang di dalamnya Rasul menjelaskna hukum Allah
berada di bawah penglihatan dan pendengaran mereka. Mereka juga memahami dan
menguasai syari'at. Ketika di hadapan mereka muncul sebuah peristiwa yang
membutuhkan penjelasan hukum Allah, mereka menjelaskan hukum syar'i tentangnya
dengan menjelaskan pendapat mereka yang mereka simpulkan dari nash, atau dari
logika nash. Dan seringkali mereka hanya memberikan hukum tanpa menjelaskan
dalilnya. Karena itu, dinukilkan dari para sahabat beberapa permasalahan dalam
bentuk pendapat-pendapat mereka. Inilah yang menimbulkan pemahaman pada
sebagian orang bahwa para sahabat mengeluarkan pendapat mereka tentang
permasalahan-permasalahan tersebut. Padahal, sebenarnya para sahabat memberikan
hukum syar'i yang mereka simpulkan dengan pemahaman mereka dari nash-nash
syar'i, tapi mereka tidak menyertainya dengan dalil, atau mereka tidak
menjelaskan 'illah hukum,
atau tidak menjelaskan dalil 'illah tersebut. Ini mengakibatkan
munculnya prasangka bahwa pendapat tersebut berasal dari sahabat, dan bahwa
boleh bagi seseorang untuk mengeluarkan pendapat tentang permasalahan tertentu
selama akalnya dipenuhi oleh Islam dan dia mengetahui bahasa Arab.
Ketika tiba masa-masa saat kerusakan menimpa bahasa
Arab, maka jadilah bahasa Arab dipelajari sebagai kaedah-kaedah untuk menjaga
lidah (dari kesalahan bahasa). Dan ketika kebohongan menyusup di antara para
rawi (periwayat hadits), dan dari Rasulullah saw. diriwayatkan hadits-hadits
yang tidak beliau ucapkan, maka hadits berubah menjadi ilmu yang dipelajari
berdasarkan kaedah-kaedah. Karena itu, jadilah penyimpulan hukum membutuhkan
pengetahuan tentang bahasa Arab dan nash-nash syar'i. Sehingga, jadilah hukum syar'i
disertai dengan dalil, dan kadang disertai dengan cara pengambilan kesimpulan.
Maka, mulailah fikih menemukan bentuk barunya dalam pembahasan, dan disusun
berdasarkan susunan yang khusus dalam pembagian bab. Meskipun cara dalam
pembagian bab dan penyusunannya berbeda-beda, tapi yang pasti harus ada
penjelasan dalil hukum syar'i yang menyertai penjelasan hukum tersebut, dan
harus ada penjelasan cara pengambilan kesimpulan saat hukum tersebut
diperselisihkan.
Perpustakaan Islam telah dipenuhi oleh ratusan ribu buku
tentang fikih dengan cara pembagian bab dan penguraian yang bermacam-macam.
Hanya saja, setelah orang-orang kafir berhasil menyerang kaum muslimin setelah
pertengahan abad 18 M, mulailah mereka menyesatkan kaum muslimin tentang
ilmu-ilmu Islam. Mereka membuat kaum muslimin membenci fikih, sebagaimana para
Sophis membuat manusia membenci madu dengan mengatakan kepada mereka bahwa madu
adalah kotoran lalat. Mereka meletakkan fikih Islam dalam bingkai hitam,
sehingga kaum muslimin berpaling darinya. Dan jika kaum muslimin berpaling dari
fikih, maka berarti mereka telah berpaling dari pengetahuan tentang hukum-hukum
Islam, dan mereka terjatuh dalam kebodohan tentang agama Allah. Dan inilah yang
benar-benar terjadi.
Karena itu, adalah keharusan, mendorong kaum muslimin
untuk mempelajari fikih, dengan memaparkan beberapa contoh fikih Islam yang
dapat membangkitkan hasrat untuk mempelajarinya. Dan adalah bermanfaat bagi
manusia, memaparkan beberapa contoh hukum syar'i yang berkaitan dengan hubungan-hubungan
umum, yaitu yang pada masa sekarang mereka sebut dengan hukum-hukum politik
atau fikih perundang-undangan; beberapa contoh hukum-hukum syar'i yang
berkaitan dengan hubungan antar individu, yaitu yang mereka sebut dengan
undang-undang sipil; beberapa contoh hukum syar'i yang berkaitan dengan
berbagai hukuman; dan beberapa contoh hukum syar'i yang berkaitan dengan
bukti-bukti. Sehingga, potret fikih menjadi jelas sejelas-jelasnya. Dan semoga
itu dapat membangkitkan hasrat untuk mempelajari fikih Islam dalam induk-iduk
kitab fikih yang diakui.

0 komentar:
Posting Komentar