by
08.51
0
komentar
Bukhori-muslim
dermawan
Imam Laits bin saad
mujtahid
perawi hadist
Qalqasyandah
terkemuka
Nama lengkapnya adalah Abu Harits al-Laits bin Sa’ad bin
Abdurrahman. Ia lahir pada bulan Sya’ban tahun 94 H di kampung Qalqasyandah,
sekitar sepuluh kilometer dari Kairo, Mesir. Ia adalah seorang ulama besar,
ahli fikih terkemuka dan perawi hadis terpercaya yang hidup pada masa kekuasaan
Bani Umayyah.
Sejak kecil Laits bin Saad sudah hapal al-Quran serta banyak
hadis dan syair-syair Arab. Al-Laits banyak belajar di masjid agung di Kota
al-Fusthath (Masjid Amru bin al-Ash). Di masjid itu para pencari ilmu dapat
mempelajari berbagai jenis ilmu seperti tafsir al-Quran, ilmu hadis, fikih,
bahasa Arab, sastra, sejarah, dan lain sebagainya.
Laits bin Saad juga mengadakan rihlah ilmiah ke Irak dan
daratan Hijaz. Gurunya dari kalangan Tâbi’in sangat banyak. Al-Mizzi
menyebutkan sekitar 80 guru. Muridnya yang terkemuka mencapai lebih 70 orang.
Sebagian besar dari muridnya kelak menjadi guru-guru Imam Ahmad, seperti Ibnul
Mubarak dan Ibnu Wahab. Sebagian lagi menjadi guru Imam al-Bukhari, seperti
Yahya bin Bukair. Yang lain menjadi guru Imam Muslim, seperti Yahya bin Yahya
at-Tamimi.
Imam al-Bukhari dan Muslim banyak meriwayatkan hadis dari
Imam al-Laits. Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafii, Sufyan ats-Tsauri, al-Ijli
dan kebanyakan ulama menganggap Imam al-Laits tsiqah. Para ulama telah
menetapkan bahwa sanad paling sahih di Mesir adalah yang diriwayatkan oleh Imam
al-Laits bin Saad, dari Yazid bin Abi Habib.
Imam al-Laits dikenal sebagai salah satu mujtahid besar di
bidang fikih yang pemikirannya sangat cemerlang. Ibnu Hajar al-Asqalani,
seorang fakih dan muhaddits kenamaan yang hidup pada generasi sesudahnya,
memberikan penghormatan dan pengakuan atas keilmuan Imam al-Laits. “Ilmu para
Tâbi’în yang berasal dari Mesir telah habis diserap oleh al-Laits,” kata Ibnu
Hajar.
Karena kefakihannya, Imam Malik bahkan sering menanyakan
berbagai persoalan kepada Imam Laits bin Saad.
Sekalipun tidak meninggalkan satu karya tulis pun, pemikiran
Imam al-Laits sebenarnya masih bisa dilacak hingga saat ini. Pasalnya, banyak
ulama fikih dari generasi sesudahnya yang sering menukil pendapatnya dalam kitab-kitab
mereka. Di antara kitab yang memuat petikan pemikiran Imam al-Laits adalah
Al-Mughni (kitab fikih mazhab Hanbali yang disusun oleh Ibnu Qudamah),
Al-Muhalla (kitab fikih mazhab azh-Zhahiri yang dikarang oleh Ibnu Hazm) dan
Bidâyah al-Mujtahid (kitab fikih mazhab Maliki karya Ibnu Rusyd).
Imam al-Laits juga banyak meninggalkan jejak pemikiran dalam
ilmu ushul fikih. Tentang ijmak, misalnya, Imam al-Laits berpendapat bahwa
ijmak (konsensus) yang bisa dijadikan dalil hanyalah Ijmak Sahabat (Khathib al-Baghdadi,
Târîkh al-Baghdâd, 13/3, Adz-Dzahabi, Tadzkîrât al-Huffâzh, 1/207).
Terkait keilmuan Imam al-Laits, Imam an-Nawawi berkomentar,
“Semua orang sepakat akan keagungan Imam Laits; termasuk sifat amanahnya dan
ketinggian derajatnya dalam fikih dan hadis.”
Bahkan Ibn Wahab berkata, “Andai tidak ada Imam Malik dan
Imam al-Laits, tentu manusia akan tersesat.”
Imam asy-Syafii bahkan menilai Imam al-Laits lebih fakih
daripada Imam Malik. Hanya saja, kata Imam asy-Syafii, karena kekurangsigapan
murid-muridnya untuk membukukan pemikirannya, mazhab al-Laits bin Saad akhirnya
lenyap (An-Nawawi, Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughât, 2/73).
*****
Selain seorang ulama besar, Imam al-Laits juga termasuk
pengusaha sukses yang amat dermawan. Karena itu, meski menjadi pengusaha
sukses, Imam al-Laits tidak pernah menjadi kaya-raya sehingga tidak pernah
membayar zakat. Mengapa? Muhammad bin Ramh menceritakan, “Setiap tahun omset
bisnis Imam al-Laits lebih dari 80.000 dinar (sekitar RP 160 miliar/tahun).
Namun, beliau tidak pernah membayar zakat. Pasalnya, sebelum mencapai satu
tahun (haul), hartanya sudah habis ia infakkan dan sedekahkan. Begitu
seterusnya.” (An-Nawawi, Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughât, 2/73).
Qutaibah bin Said menuturkan bahwa Imam al-Laits selalu
bersedekah setiap untuk 300 fakir miskin.
Imam al-Laits juga gemar bersedekah kepada para ulama, salah
satunya Imam Malik. Setiap tahun ia biasa mengirim hadiah sebanyak 100 dinar
(sekitar Rp 200 juta) untuk Imam Malik.
Suatu saat, Imam Malik menulis surat kepada Imam Laits bahwa
ia memiliki utang yang harus dilunasi. Segera Imam Laits membalas surat Imam
Malik sambil memberikan secara cuma-cuma uang sebanyak 500 dinar atau sekitar
Rp 1 miliar (Al-Jâmi’ fî Rasâ’il ad-Da’wiyyah, 128-129).
Yahya bin Bakr, berkata: Aku pernah mendengar ayahku
berkata, “Al-Laits pernah mengutus tiga orang untuk menyedekahkan hartanya
sebanyak 3000 dinar (sekitar Rp 6 miliar) kepada tiga orang, masing-masing
mendapatkan 1000 dinar (sekitar Rp 2 miliar), yaitu: Ibnu Luhai’ah, Malik bin
Anas dan Qadhi Manshur bin Ammar.”
Suatu ketika ada seorang wanita miskin meminta kepada sang
Imam madu alakadarnya untuk pengobatan anaknya yang sedang sakit. Saat itu Imam
al-Laits malah memberi wanita itu 120 liter madu.
Saat pergi haji, Imam al-Laits singgah di Madinah. Saat itu
Imam Malik mengirim beberapa lembar roti basah dari gandum di atas nampan.
Setelah menyantap habis hidangan itu, Imam al-Laits lalu mengembalikan nampan
tersebut dengan menaruh uang di atasnya sebanyak 1000 dinar (sekitar RP 2
miliar) sebagai hadiah untuk Imam Malik.
Pada suatu ketika, Khalifah Harun ar-Rasyid memberi Imam
Malik uang sebanyak 500 dinar (sekitar Rp 1 miliar). Mengetahui itu, Imam Laits
tidak mau kalah. Ia kembali memberi hadiah Imam Malik berupa uang dengan jumlah
dua kali lipat, yakni 1.000 dinar (sekitar Rp 2 miliar) (Al-Irbili, Wafiyât
al-‘Ayân wa Anbâ’ Abnâ’ az-Zamân, 4/10).
*****
Ibn Miskin menuturkan bahwa Imam al-Laits sempat dibawa oleh
Khalifah al-Ma’mun ke Baghdad dan dipenjarakan di sana. Pasalnya, ia tidak mau
memenuhi tuntutan Khalifah al-Ma’mun untuk menyatakan bahwa al-Quran adalah
makhluk. Imam al-Laits tetap dipenjara hingga Ja’far al-Mutawakkil naik takhta.
Sejak itulah ia baru dibebaskan (Al-Irbili, Wafiyât al-‘Ayân wa Anbâ’ Abnâ’
az-Zamân, 2/56).
Imam al-Laits wafat sekitar tahun 175 H. Terkait wafatnya
Imam al-Laits, Imam Syafii pernah berdiri di sisi kuburannya seraya berkata,
“Demi Allah, wahai Imam, engkau telah mengumpulkan empat sifat yang tidak
dimiliki ulama lainnya: ilmu, amal, zuhud dan kedermawanan.” (Khathib
al-Baghdadi, Târîkh al-Baghdâd, 13/3; Adz-Dzahabi, Tadzkirât al-Huffâzh,
1/207).
Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh.

0 komentar:
Posting Komentar